A. Hakikat Iman
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, bahwa iman merupakan sebuah hakikat syar’iyah. Sebab menurut para pakar ilmu ushul, hakikat terbagi menjadi tiga: hakikat syar’iyah, hakikat ‘urfiyah, dan hakikat lughowiyah. Ini artinya, pengertian iman di sini adalah dari sisi hakikat syar’iyah (keagamaan), bukan hakikat ‘urfiyah (kebiasaan) ataupun hakikat lughowiyah (kebahasaan).
Beliau mencontohkan dengan sholat. Secara bahasa, sholat pada hakikatnya adalah doa. Semata-mata berdoa sudah disebut sebagai sholat secara bahasa. Akan tetapi dalam syari’at, hakikat sholat lebih luas daripada itu. Secara syari’at yang dimaksud dengan hakikat sholat adalah perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sehingga sholat terdiri dari ucapan dan perbuatan, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Itulah hakikat sholat dalam pandangan syari’at.
Demikian pula halnya dengan istilah puasa, zakat, dan haji. Ini semuanya adalah hakikat syar’iyah. Maka iman adalah suatu hakikat syar’iyah. Ia mencakup ucapan dengan lisan; yaitu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan berdzikir, termasuk di dalamnya adalah mengucapkan tasbih dan tahlil. Kemudian, iman juga meliputi pembenaran dengan hati terhadap apa yang diucapkan oleh lisanmu. Iman juga mencakup amalan dengan anggota badan, yaitu dengan engkau menggerakkan anggota tubuhmu dalam rangka melakukan ibadah dan ketaatan, serta untuk meninggalkan kemaksiatan dan menahan diri dari berbagai perbuatan maksiat.
Ini artinya, iman bukan sekedar ucapan dengan lisan semata. Ia juga bukan semata-mata keyakinan di dalam hati. Iman juga bukan semata-mata amalan tanpa dilandasi keyakinan dan tanpa ucapan. Akan tetapi ketiga hal ini harus terwujud dan saling berkaitan erat satu sama lain. Iman itu akan meningkat dengan sebab melakukan ketaatan; setiap kali seseorang melakukan ketaatan maka bertambahlah imannya. Dan ia akan menurun dengan sebab kemaksiatan, sehingga setiap kali muncul perbuatan maksiat dari seseorang maka seketika itulah berkurang pula imannya (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan ini dalam Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 174-175)
B. Ucapan, Keyakinan, dan Amalan
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman itu mencakup ucapan, keyakinan dan amalan ialah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan kepada-Nya agama secara lurus, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan. Karena Allah menamakan perkara-perkara ini sebagai agama yang lurus. Istilah agama dan iman adalah semakna. Yang dimaksud dengan agama yang lurus adalah millah/ajaran yang benar.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Bahkan, rasa malu juga merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Beliau menjadikan perkara-perkara ini semuanya sebagai bagian dari iman. Yaitu ucapan laa ilaha illallah, ini adalah ucapan. Menyingkirkan gangguan dari jalan, ini adalah amalan. Dan rasa malu sebagai cabang keimanan, maka ini adalah keyakinan…” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)
Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Iman harus mencakup ketiga perkara ini; keyakinan, ucapan, dan amalan. Tidak cukup hanya dengan keyakinan dan ucapan apabila tidak disertai dengan amalan. Dan setiap ucapan dan amalan pun harus dilandasi dengan niat. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits, “Sesungguhnya setiap amalan itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907). Begitu pula, bersatunya ucapan, amalan, dan niat tidaklah bermanfaat kecuali apabila berada di atas pijakan Sunnah. Karena sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya maka pasti tertolak.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam lafal Muslim disebutkan juga, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan dari tuntunan kami maka dia pasti tertolak.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairawani, hal. 145)
C. Pasang Surut Keimanan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah satu pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya iman bertambah dan berkurang. Hal itu ditopang oleh dalil dari al-Kitab maupun as-Sunnah.” (lihat Fathu Rabb al-Bariyyah bi Talkhish al-Hamawiyyah, hal. 102)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya mereka maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal: 2). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu bertambah. Apabila seorang insan mendengar al-Qur’an maka bertambahlah imannya. Dan apabila dia jauh dari al-Qur’an maka berkuranglah imannya.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 175)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga memaparkan, bahwasanya keimanan umat manusia tidaklah berada dalam derajat yang sama. Iman Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu -misalnya- bisa menyamai keimanan segenap umat ini. Sehingga tidaklah sama antara keimanan Abu Bakar dengan iman yang ada pada kaum muslimin yang fasik. Ini adalah perkara yang sudah jelas. Adapun orang yang mengatakan bahwa iman itu sekedar pembenaran di dalam hati, dan bahwasanya ia tidak bettingkat-tingkat, maka ini adalah perkataan kaum Murji’ah. Menurut pandangan mereka iman Abu Bakar dengan iman orang yang paling fasik adalah sama. Jelas ini adalah kekeliruan yang sangat fatal (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 178)
Abdullah -putra Imam Ahmad bin Hanbal- pernah mendengar ada yang bertanya kepada ayahnya mengenai paham Murji’ah, maka beliau menjawab, “Adapun kami -Ahlus Sunnah- mengatakan bahwa iman itu ucapan dan amalan, ia bertambah dan berkurang. Apabila seorang berzina dan meminum khamr maka berkuranglah iman orang tersebut.” (lihat as-Sunnah [1/307])
Abdullah juga menuturkan: Ayahku menuturkan kepadaku. Dia berkata: Abu Nu’aim menuturkan kepada kami. Dia berkata: Aku mendengar Sufyan -yaitu ats-Tsauri- berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang.” (lihat as-Sunnah [1/310])
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Dalam kaitannya dengan pokok ini, ada dua kelompok yang menyimpang dari kebenaran. Pertama; sekte Murji’ah tulen yang mengatakan bahwa iman adalah semata-mata pengakuan hati dan menurut mereka pengakuan hati itu tidak bertingkat-tingkat, sehingga orang fasik dan orang yang adil/soleh menurut mereka adalah setara dalam hal iman. Kedua; sekte Wa’idiyah yaitu kalangan Mu’tazilah dan Khawarij, mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari lingkaran iman. Menurut mereka, iman itu kalau ada maka adanya secara total atau kalau tidak ada maka lenyapnya juga secara total. Menurut mereka, iman itu tidak bertingkat-tingkat.” (lihat Fathu Rabb al-Bariyyah bi Talkhish al-Hamawiyyah, hal. 103)
Secara global, ada empat sebab pokok bertambahnya iman, yaitu: 1. Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, 2. Memperhatikan ayat-ayat kauniyah maupun ayat-ayat syar’iyah, 3. Melakukan ketaatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, 4. Meninggalkan kemaksiatan karena takut kepada Allah. Adapun sebab-sebab utama berkurangnya iman adalah kebalikan atau lawan dari hal-hal tersebut (lihat Fathu Rabb al-Bariyyah, hal. 104-106)
D. Empat Pandangan Sekte Murji’ah
Kaum Murji’ah memiliki empat pendapat dalam hal iman:
Pertama, mereka mengatakan bahwa iman adalah ma’rifah/pengakuan di dalam hati. Apabila seorang sudah mengakui Rabbnya maka dia sudah dikatakan beriman. Ini adalah pandangan kaum Jahmiyah. Konsekuensi pendapat mereka ini adalah bahwasanya Iblis juga beriman. Iblis mengatakan, “Wahai Rabbku, karena Engkau telah memutuskan aku sesat.” (QS. al-Hijr: 39). Bahkan, Fir’aun dan semua orang kafir juga beriman. Karena mereka semuanya mengakui Allah sebagai Rabb mereka. Sehingga artinya, tidak ada seorang pun yang kafir di atas muka bumi ini. Ini adalah pendapat yang paling keji.
Kedua, mereka mengatakan bahwa iman adalah tashdiq/pembenaran di dalam hati. Mereka memandang bahwa pengakuan semata belum cukup, tapi harus disertai dengan pembenaran. Ini merupakan pendapat kaum Asya’irah, dan ini adalah pendapat yang salah. Orang-orang kafir pun pada dasarnya telah membenarkan dengan hati mereka. Allah ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan para pengikutnya, “Dan mereka menentangnya, padahal mereka telah meyakininya di dalam hatinya, itu dikarenakan sikap aniaya dan ingin menyombongkan diri.” (QS. an-Naml: 14). Banyak orang kafir yang membenarkan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi mereka tidak mau mengikutinya karena sombong dan fanatisme terhadap ajaran nenek moyang mereka. Seperti halnya apa yang menimpa kepada Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga, mereka mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka inilah yang dikenal dengan kaum Murji’ah Fuqoha. Diantara panganut paham ini adalah kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah). Mereka mengatakan bahwa iman adalah pembenaran hati dan pengucapan lisan. Mereka tidak memasukkan amal dalam hakikat iman.
Keempat, mereka yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dengan lisan. Ini merupakan pendapat kaum Karramiyah. Konsekuensi dari pendapat ini adalah kaum munafik juga termasuk orang beriman, sebab mereka juga mengucapkan dua kalimat syahadat.
Inilah keempat pendapat kaum Murji’ah. Semua pendapat ini adalah keliru dan menyesatkan. Adapun pendapat yang benar adalah apa yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya iman itu mencakup ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad karya Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hal. 178-181)